Sabtu, 06 Juli 2013

Ketika belahan hatiku pergi....

foto dari mbah gugle
“Kullu nafsun dzaaaikotul maut” => setiap jiwa yang hidup pasti akan mati. Berupa kalimat yang sudah sering kita dengar. Biasanya ketika mendengar kalimat ini rentetan tulisan di bawahnya adalah bagaimana kita mempersiapkan diri menuju maut. Maaf, kali ini bukan itu yang hendak ku tulis teman..masalah mempersiapkan diri menuju maut, sungguh bukan kapasitasku untuk bercerita, masih sangat kerdillah diri ini untuk membicarakan akherat.



Tulisan ini terinspirasi ketika melihat seorang teman yang tak kunjung jua bangkit dari duka. Sungguh maafkan atas kelancanganku, tulisan ini justru hadir karena empatiku yang dalam padamu.

Sebut saja kei, yang selama ini mencintai pekerjaan tetapnya sebagai ibu rumah tangga, segenap hati dan jiwa mencurahkan diri dan waktu untuk keluarga. Urusan ekonomi dan lain-lain suami sudah sangat mencukupi. Mau pergi kemana pun, maka suami sudah duduk di belakang setir siap antar jemput kemana pun, wastafel bocor dia tinggal teriak “yaaah..wastafel bocor” , listrik mati tinggal bilang “ yaah..”,  semua  “yaaah…”.   Keluarga bahagia kalau saya melihat dari sudut pandang seorang  wanita, istri dan ibu.  Tapi seperti biasa,  manusia tak bisa apa-apa jika ajal sudah datang, sang suami meninggal dunia karena kecelakaan. Hancur rasa hari kehilangan teman, belahan hati, imam dan orang yang dicintai, tempat bergantung saat duka, tempat mengejek saat suka.

1 bulan setelah kematian suami Kei mengadukan duka nya, begitu banyak rasa kehilangan. Saya sangat mengerti.  2 bulan setelah kematian kei masih meratapi kehilangan  pujaan hidup, saya masih memaklumi, 3 bulan setelah kematian, kei masih belum dapat menyembuhkan luka dan masalah bertambah dengan anak yang mulai merasa kehilangan ayah.  4 bulan setelah kematian, Kei masih belum bisa menyembuhkan lukanya sendiri dan tambah bingung karena ternyata anak juga terluka bahkan luka anak lebih dalam. Karena kehilangan ayah dan “kehilangan” bunda (bunda berubah karena sedang berduka).  Bulan ke 5, masalah Kei bertambah dengan “saya harus bagaimana?? Warisan peninggalan suami ternyata lama-kelamaan menipis di gunakan untuk hidup. Bulan ke 6, Masalah anak, uang, dan luka yang belum bisa di sembuhkan…

Cerai dunia, kita bisa hindari, tapi cerai mati, bisa apa kita?  Apakah kita akan menjadi Kei yang terjebak dalam duka kemudian terjebak pada lilitan ekonomi?  Apakah kita akan membiarkan hidup kita berakhir, hidup anak kita berakhir ketika suami tidak lagi ada disisi?  Saya bukan hendak mengembor-gemborkan emansipasi wanita, atau saya pun tidak hendak menyuruh para bunda bekerja di kantor. Tapi saya hanya mengajak para wanita untuk mandiri dan siap menghadapi yang akan terjadi apapun caranya.  Sebagai seorang wanita, sebagai seorang ibu, saya punya PR terbesar dalam hidupku :
-          Menyiapkan diri, ketika suami yang amat kucintai tak lagi disisi
-          Menyiapkan mental anak ketika sang ayah tak ada


Ririe
16 Nov 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar